Sabtu, 11 Mei 2013

KEBUDAYAAN (Filosofi Rambu Solo)


Upacara Adat Rambu Solo'
Tana Toraja


Tana Toraja merupakan salah satu dari daerah di Indonesia yang menjadi pusat perhatian dunia dan merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Pulau Sulawesi. Hal tersebut bukan hanya karena keindahan alamnya, namun juga karena kekayaan budayanya. Tator (sebutan tana toraja oleh wisatawan) terletak di Sulawesi Selatan. Suku Toraja tinggal di daerah pegunungan dengan beragam budaya yang dimiliki, salah satu budayanya yang paling terkenal ialah tradisi upacara pemakaman (Rambu Solo).
Masyarakat Suku Toraja menganut “Aluk to dollo” atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dilakukan hingga sekarang. Dalam upacara pemakaman (Rambu Solo), masyarakat Toraja percaya jika upacara pemakaman tidak dilakukan maka arwah orang yang meninggal akan mendatangkan musibah/kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Orang yang sudah meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, jasadnya harus terus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan meyediakan makanan, minuman, rokok ataupun sirih.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.

Keistimewaan

Puncak dari upacara Rambu Solo disebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.