Upacara Adat Rambu Solo'
Tana Toraja
Tana
Toraja merupakan salah satu dari daerah di Indonesia yang menjadi pusat
perhatian dunia dan merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di
Pulau Sulawesi. Hal tersebut bukan hanya karena keindahan alamnya, namun juga
karena kekayaan budayanya. Tator (sebutan tana toraja oleh wisatawan)
terletak di Sulawesi Selatan. Suku Toraja tinggal di daerah pegunungan dengan
beragam budaya yang dimiliki, salah satu budayanya yang paling terkenal ialah
tradisi upacara pemakaman (Rambu Solo).
Masyarakat
Suku Toraja menganut “Aluk to dollo” atau adat yang merupakan kepercayaan,
aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan nenek moyangnya. Meskipun
saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau
Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dilakukan
hingga sekarang. Dalam upacara pemakaman (Rambu Solo), masyarakat Toraja
percaya jika upacara pemakaman tidak dilakukan maka arwah orang yang meninggal
akan mendatangkan musibah/kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkan.
Orang yang sudah meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, jasadnya harus
terus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan meyediakan makanan,
minuman, rokok ataupun sirih.
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik
dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Dalam
kepercayaan masyarakat Tana Toraja ada prinsip semakin tinggi tempat
jenazah diletakan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.
Rambu
Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja
yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal
dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para
leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang
terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering
juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena
orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh
prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut
hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap
diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat
tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak
berbicara.
Oleh
karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting,
karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang
meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang
mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa
pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo
menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana
Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua
mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan
upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang
meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak
kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk
keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100
ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah
50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga
bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak
lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan
tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak
masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan,
sehingga mampu menggelar upacara ini.
Keistimewaan
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut
dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.
Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang
selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan
jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung
untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah
ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain
itu, juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang dipertontonkan, di
antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan
diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalam
upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik, seperti pa‘pompan,
pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian, seperti pa‘badong,
pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga
tedong.
Menariknya
lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri
khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan
sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi
kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor.
Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika
iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya,
dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa
membentang di antara pelayat tersebut.